Selasa, 10 Mei 2011

(Afifah) Cerita hidup..

Afifah. Nama yang cukup singkat. Pertama aku mengenalnya, tidak ada suatu hal yang spesial, semuanya biasa saja, layaknya teman-teman wanitaku yang lain. Mahasiswi kedokteran yang sedang dalam masa menemukan jati diri .

Dia anak yang baik, berjilbab. Hanya saja, karena aku dan dia beda kelas, jadi kurang begitu akrab. Hingga suatu hari, berawal dari sebuah percakapan kecil dengan temanku, aku jadi mulai tertarik , ternyata Afifah …

Di laboratorium Histologi …

Tidak seperti suasana seharusnya dalam praktikum yang tenang dan hikmat, ruangan ini benar-benar gaduh. Tapi…that’s no problem, mungkin karena terlalu biasa kali ya? Suara percakapan terdengar di sana-sini, bak dengungan lebah. Entah apa yang tengah dibicarakan, selalu saja ada bahan! Yang cewek-cewek pada ngegosip (pantas saja, seperti dalam hadits disebutkan kalau penghuni neraka kebanyakan adalah wanita, ternyata inilah sebabnya, tidak bisa menjaga perkataan, lidah bisa lebih berbahaya dari pedang kan?).

Begitu juga anak cowok, entah apa yang diobrolkan mereka.
Ssstt …. ini praktikum , bukan pasar!!! teriakku dalam hati yang mulai sebal dengan suasana yang makin ramai ini, maklumlah aku tidak terlalu suka keramaian.

“Eh, Rina , tahu nggak? Teman kita ternyata udah ada yang nikah lho?” Ayu temanku tiba-tiba saja mengajakku ngobrol. Hehe…ternyata dari tadi mereka lagi ngobrolin masalah jodoh tho? Dasar puber!

“Oh ya? serius? Emang siapa?” Akhirnya aku menanggapi obrolannya juga, habis cukup menarik sih.
“Itu, katanya sih Afifah udah nikah,“ jawab Ayu setengah berbisik
“Baru katanya atau emang beneran?”
“Aku juga denger dari anak lain sih, tapi kayaknya bener kok, coba aja tanya ke orangnya!”
Aku mengerucutkan bibir, “Kamu dong yang satu kelas sama dia. Aku kan belum terlalu kenal.“
“Yah makanya sekalian kenalan.“
“Eng…kapan-kapan aja dech!”

Percakapan hari itu menjadi bahan pikiranku sampai berhari-hari. Bener nggak ya, Afifah udah nikah? Baru semester satu gitu. Kalau beneran, wah…subhanallah! Langka dan lain dari yang lain pastinya. Kalau anak sebayanya kan kebanyakan pada lagi semangat nyari gebetan and pacaran.

Padahal kalau dipikir-pikir, apa sih manfaat pacaran? Fungsi penjajakan? Kenalan … pedekate … kalau cocok terus, kalau nggak cocok atau udah bosen ganti yang lain? Ih, sadis banget kalau gitu. Lebih baik menikahlah, selain udah ada ikatan halal, juga ada ikrar janji yang tidak semudah itu untuk diingkari. Chiyee … sok tahu banget ya aku …

Setelah berhari-hari , berjam-jam, bermenit-menit, berdetik-detik, dst … aku melakukan penyelidikan, penyidikan dan wawancara ke beberapa orang, akhirnya dapat info juga. Afifah ternyata memang benar-benar sudah menikah! Nggak penting banget ya, atau bisa dibilang kurang kerjaan, tanya sana sini cuma pengen tahu Afifah udah nikah apa belum. Mbok ya tanya orangnya langsung! Tapi kan nggak berani …

Dari info yang kudapat , ternyata dia menikah saat lulus SMA, waw! Usianya beda tujuh tahun dengan suaminya yang kini tengah mengambil S2 Ekonomi, kayaknya mereka …..

Dan ternyata , memang kebanyakan dari teman-temanku belum pada tahu, jadi saat aku bertanya mereka malah balik tanya, “Oh ya?” Yah, tapi semoga saja tidak menjadi gosip.

Lima bulan kemudian …
Aku kembali dibuat kaget .
“Ih, Afif, kamu kok tambah ndut? Beneran nih lagi isi ya?” Pertanyaan Amali spontan membuatku kaget.
Lebih kaget lagi, saat aku melihat reaksi Afifah. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Beneran Fif? udah berapa bulan?”, tanyaku yang kebetulan sedang bersama mereka di mushola kampus.
“Empat bulan.“
“Hah ? Empat bulan??” Paduan suara aku dan teman-teman kaget.
“Eh, serius Fif, kok nggak kelihatan …”
“Baru tahu lho, ternyata kamu udah nikah tho Fif ? Eh, tiba-tiba kok udah hamil ?”
Yah, yang ini mah pertanyaan aneh.
“Rasanya gimana Fif?”
“Wuih … keren banget, udah mau punya anak. Kalau aku jadi kamu eng… kayaknya belum siap!!”
“Aduh , hati-hati bumil …makannya jangan lupa ya, harus selalu bergizi…”
Dan bla…bla… teman-temanku tiba-tiba saja pada rame ngerubungi Afifah, termasuk aku yang masih setengah tak percaya.

Tiga bulan kemudian …

Kehamilan Afifah cukup menjadi berita heboh, baik di angkatanku maupun di angkatan atas. Dan ternyata baru pada tahu kalau ternyata anak semester paling bawah di FK ini udah ada yang nikah, kalah deh kakak-kakak kelas …
Perhatian teman-teman ke Afifah (yang kini lebih akrab dipanggil Bumil alias Ibu Hamil) semakin bertambah, termasuk aku juga. Jadi semakin salut dan kagum. Gimana ya, sesama wanita, kayaknya aku belum tentu siap menjadi seperti Afifah, eh Bumil.

Saat Praktikum Anatomi …

“Eh, Bumil … besok anaknya dikasih nama Saphena Magna aja, hehe …”
Ngaco nih, itu kan nama vena di kaki.
“Udah tahu belum Bumil, anaknya cowok atau cewek?”
“Udah dong.“
“Hah … beneran ?? Mau dong dikasih tahu!!”
“Rahasia.“
“Yah … nggak seru!!”
“Ntar mau dikasih nama siapa, Bumil?”
Teman-teman sekelompok praktikumku berebut mewawancarai Afifah Bumil.
“Kalau cowok, jangan dikasih nama Aji ya, ntar jadi nakal!”
“Ihh, enak aja, sembarangan, “ protes temanku yang bernama Aji.
“Kalau cewek nanti kasih nama Rinda aja…”
“Huhuuu…”

Sekarang semua ramai membicarakan Afifah. Semua salut padanya. Bayangkan saja, dalam keadaan hamil tujuh bulan masih tetap kuliah tanpa cuti dan ikut semua praktikum…mengikuti praktikum Anatomi, yang notabene hampir setiap hari berkutat dengan cadaver beraroma formalin. Semoga anakmu menjadi anak yang kuat Afifah .

“Fif, ati –ati …”
“Udah tenang aja, nggak papa kok …”
“Ihh, tapi ngeri Fif … nanti kalau tiba-tiba jatuh gimana?”
Ngeri aku melihat Afifah dengan perut yang kian membesar karena mengandung janin yang hari ini genap berusia delapan bulan menaiki tangga menuju ke laboratorium Histologi .
“Hayo, doain jelek ya? Ya, udah siap-siap aja menangkapku kalau aku jatuh.“
“Yah, tapi aku kan kecil Fif … ntar malah ikutan jatuh!”
“Kok tega ya, nggak ada yang boncengin kamu,” ucap Diah temanku membela.

Dalam hati kubenarkan perkataannya. Jarak antara ruang kuliah dengan laboratorium Histologi memang cukup jauh, dengan berjalan kaki mungkin butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit. Medannya kurang bersahabat, menanjak dan butuh cukup banyak energi. Tapi bila dicapai dengan kendaraan tentu saja akan lebih ringan dan cepat. Bagi pejalan kaki, ada jalan pintas, tangga sejauh kurang lebih 30 meter terbentang diantara semak-semak yang kian hari kian tinggi .

Kalau bagiku, sarapan atau tidak, sama saja kalau mau ke laboratorium histologi, soalnya, meskipun sudah sarapan pasti sesampainya di sana jadi lapar lagi, karena tenaganya terkuras untuk mendaki tangga (sebenarnya nggak sebegitu juga sih hehe…hiperbola). Makanya aku tak bisa membayangkan bagaimana beratnya Afifah yang tengah mengandung delapan bulan itu berjalan menaiki tangga sampai ke lab Histologi. Kok ya teman-temanku nggak ada yang punya inisiatif memboncengkannya gitu ya, yang punya mobil atau motor kan banyak. Apa mereka lupa ya?
“Alhamdulillah, akhirnya … sampai juga …”
“Kamu nggak papa kan Fif?”
Afifah terlihat sangat kelelahan, bisa dimaklumi tentu saja.
“Nggak papa kok …”
“Beneran Fif?”
“Iya … udah, kalian nggak usah khawatir …”

Aku hanya bisa tersenyum kagum mendengar jawabannya. Semoga kamu dan anakmu senantiasa mendapat rahmat Allah, Fif. Perjuangan seorang ibu hamil bernama Afifah yang baru berusia delapan belas tahun lebih, belum genap sembilan belas tahun. Aku memang lebih muda beberapa bulan darinya, namun kedewasaannya jauh di atasku, sangat nyata bila dibandingkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar